ASAL
USUL PULAU SI KANTAN
Labuhan Batu
merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan pantai timur Sumatera
Utara. Kabupaten yang beribukota Rantau Prapat ini berjarak kurang
lebih 300 km dari ibukota Provinsi Sumatera
Utara, Medan, dan dapat ditempuh dengan menggunakan
angkutan jalan darat, mobil atau kereta api selama 7-8 jam. Kabupaten ini
memiliki Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang cukup menarik. Salah satu di antaranya
adalah Pulau Si Kantan yang berada di tengah-tengah Sungai Barumun dan
berhadapan dengan kota Labuhan Bilik.
Menurut cerita, Pulau
Si Kantan dulunya tidak ada. Namun,
ratusan tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat luar biasa,
sehingga pulau ini muncul di tengah-tengah Sungai Barumun. Peristiwa tersebut
diceritakan dalam sebuah cerita rakyat
yang sangat terkenal
di kalangan masyarakat Labuhan Batu. Cerita rakyat
ini mengisahkan tentang seorang pemuda
bernama
si Kantan yang menjelma menjadi sebuah pulau. Peristiwa apa sebenarnya yang
terjadi, sehingga si Kantan menjelma menjadi sebuah pulau? Ingin tahun
jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula
Pulau Si Kantan berikut ini!
*
* *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi sebuah
sungai di daerah Labuhan Batu, Sumatera
Utara, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya
bernama
si Kantan. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah reot. Ayah si
Kantan, sudah lama meninggal
dunia. Sejak itu, ibu si Kantan-lah yang harus bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Si Kantan adalah anak yang rajin
dan tekun bekerja. Setiap hari
ia membantu ibunya mencari kayu
bakar di hutan
untuk dijual ke pasar.
Pada suatu malam, ibu
si Kantan bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang tidak dikenalnya. Dalam mimpinya, kakek tua
itu menyuruhnya pergi menggali tanah di sebuah tempat di dalam hutan.
Pada pagi harinya, ia menceritakan mimpinya tersebut kepada si Kantan. “Wah,
itu mimpi yang bagus, Bu! Sebaiknya kita laksanakan petunjuknya. Siapa tahu ini
bisa mengubah nasib kita,” ujar si Kantan.
Maka, ibu dan anak
itu pergi ke hutan
dengan membawa linggis.
Sesampainya di hutan,
ibu si Kantan berusaha mengingat-ingat petunjuk yang diterima dari kakek tua di
dalam mimpinya. “Benar,
Anakku! Tempatnya persis di sini!” seru ibu Kantan dengan yakinnya. “Baiklah,
Bu! Semoga ingatan ibu tidak keliru,” kata si Kantan.
Si Kantan pun mulai
menggali tanah di bawah sebuah pohon yang besar dengan penuh semangat.
Setelah menggali sedalam dua kaki, si Kantan pun menemukan sebuah benda yang
terbungkus kain putih yang sudah usang.
“Bu, saya
menemukannya!”
“Benda apakah itu,
Nak?” tanya sang ibu penasaran.
“Entahlah, Bu!” jawab
si Kantan.
Tanpa berpikir
panjang, benda panjang yang terbungkus kain itu segera dibukanya. Ternyata
benda itu sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata.
“Lihatlah, Bu! Benda
ini sangat luar biasa.”
“Benar, Anakku!
Barangkali Tuhan ingin mengubah nasib kita yang telah lama menderita ini.”
Setelah itu, mereka
pun pulang dengan membawa tongkat
emas itu. Sesampainya di gubuk, sang ibu menghendaki agar benda itu dijual
saja. Hasilnya akan digunakan untuk membeli rumah baru dan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. “Tapi, Ibu! Siapa yang sanggup membeli benda yang sangat
berharga ini?” tanya si Kantan. “Benar juga katamu, Nak! Penduduk di desa
ini rata-rata hanya petani biasa, yang penghasilannya pas-pasan. Bagaimana jika
kamu jual saja di pulau lain?” usul ibu si Kantan.
Si Kantan menerima
usulan ibunya dengan senang
hati. Namun,
di sisi lain, ia sangat sedih karena akan meninggalkan ibunya yang sudah tua
itu sendirian.
Keesokan harinya, si
Kantan pun berpamitan kepada ibunya. “Jaga diri baik-baik, ya Bu! Setelah benda
ini terjual, Kantan akan segera kembali menemui ibu,” ucap si Kantan kepada
ibunya. “Baiklah, Anakku! Berangkatlah dan hati-hati di jalan! Jangan lupa
cepat kembali kalau sudah berhasil,” seru sang ibu. “Baiklah, Bu! Kantan
berangkat!” pamit si Kantan sambil
mencium tangan ibunya. Tiba-tiba
suasana haru menyelimuti hati ibu dan anak itu. Tak terasa, sang ibu
meneteskan air mata, lalu dipeluknya anak satu-satunya itu dengan erat-erat. “Nak,
Jangan lupakan ibumu di sini. Cepatlah kembali!” pesan sang ibu. “Iya, Bu!
Kantan berjanji kembali secepatnya,” jawab si Kantan membalas pelukan ibunya.
Setelah itu,
berangkatlah si Kantan dengan sebuah tongkang
menyusuri Sungai Barumun menuju laut lepas, dan seterusnya pergi ke Malaka.
Berhari-hari sudah si Kantan terombang-ambing oleh gelombang di tengah laut.
Meskipun perjalanan itu menguras tenaga dan membosankan, namun
hal itu tidaklah membuat niat si Kantan surut. Ia yakin bahwa hasil dari
penjualan tongkat emas itu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Setibanya di Malaka,
ia pun segera menawarkan kepada para pedagang di sana. Seluruh pedagang di kota
itu sudah ia tawari, namun
tak seorang pun yang
sanggup membelinya. Ia pun berniat kembali ke kampung
halamannya tanpa membawa hasil. Dalam perjalanan menuju ke
pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu
balang dari Kerajaan Malaka yang sedang berkeliling ronda di kota itu.
“Tongkat Emas, Tuan!”
jawab si Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke kota itu.
“Bagaimana jika
benda itu kamu tawarkan kepada raja
kami? Siapa tahu beliau tertarik,” hulu
balang lainnya menawarkan.
Si Kantan menerima
tawaran itu. Ia kemudian dibawa untuk menghadap kepada sang raja.
Setibanya di istana, para hulu
balang melaporkan kepada raja,
bahwa pemuda
miskin itu ingin menjual sebuah benda yang sangat berharga. Sang Raja
kemudian mengamati benda itu. “Aduhai, istimewa sekali benda ini,” gumam
Baginda Raja.
Setelah itu, ia
berkata kepada si Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan tongkat emas engkau
ini. Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika
engkau tinggal di istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja
menawarkan.
“Ampun, Baginda! Jika
itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si Kantan sambil
memberi hormat.
Seminggu kemudian, si
Kantan pun dinikahkan dengan putri raja
yang cantik
jelita. Pesta
pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah.
Sejak itu, si Kantan resmi menjadi anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia
bersama istrinya hidup bahagia di istana. Kehidupan yang serba mewah membuat si
Kantan lupa kepada ibunya yang sudah tua dan hidup sendirian di kampung.
Sementara itu, sang istri selalu mendesak ingin bertemu mertuanya dan ingin
melihat kampung
halaman suaminya. “Kanda… ! Kapan Kanda akan mengajak Dinda untuk menemui ibu
di kampung?”
tanya sang istri. Mula-mula si Kantan enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan alasan sibuk
mengurus istana. Namun,
karena didesak terus oleh istrinya dan direstui oleh Baginda Raja,
maka si Kantan pun tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah, Dinda! Besok pagi kita
berangkat,” janji si Kantan kepada istrinya.
Dengan menggunakan kapal
pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan istrinya beserta puluhan
prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera. Setelah berhari-hari mengarungi
Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh di kota kecil, Labuhan Bilik,
yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk setempat sangat terkejut dengan kehadiran kapal
sebesar itu. Mereka pun berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari dekat.
“Waaah, megah sekali
kapal itu! Tapi, siapa pemiliknya?” kata seorang penduduk penasaran.
“Hai, lihat itu!”
seru penduduk lainnya sambil
menunjuk ke arah seorang laki-laki
gagah bersama seorang wanita cantik
berdiri di anjungan kapal.
“Benar! Ia adalah si
Kantan, pemuda
yang tinggal di gubuk di tepi sungai itu,” kata seorang penduduk yang juga
mengenal si Kantan.
Maka tersiarlah kabar
bahwa si Kantan telah menjadi kaya-raya, bagai seorang raja
dengan kapalnya yang besar
dan megah. Akhirnya, kabar
kedatangan si Kantan pun terdengar oleh ibunya. Perempuan tua itu sangat
gembira, karena anak yang ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun telah
kembali. Saat menerima berita itu, ia memutuskan untuk menunggu anaknya dengan sabar di gubuk
reotnya. Namun,
setelah beberapa lama menunggu, anak yang dirindukannya tak kunjung datang.
Akhirnya, ibu tua itu memutuskan untuk menyusul anaknya di pelabuhan.
Dengan menggunakan sampan,
janda tua itu menyusuri Sungai Barumun menuju pelabuhan tempat kapal si Kantan
berlabuh. Ia sudah tidak sabar lagi ingin memeluk anak yang sangat disayanginya
itu. Dengan sekuat tenaga, ia
mengayuh sampannya lebih cepat lagi. Akhirnya, tampaklah dari kejauhan sebuah
kapal besar sedang bersandar di pelabuhan. “Jika
benar kata orang-orang, kapal itu pasti milik si Kantan anakku,” pikir janda
tua itu. Dengan sisa tenaga yang
dimilikinya, ia terus mengayuh sampannya mendekati kapal megah itu.
Ketika sampan yang
dinaiki sudah semakin dekat dengan kapal besar itu, ia
segera memanggil anaknya. “Kantaaan… !!! Kantaaan… !!! Kantan anakkuuuuu…
!!!”
Mendengar suara
teriakan dari luar kapal, istri si Kantan pun bertanya kepada si Kantan,
“Kanda! Suara
siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?”
“Ah, itu hanya orang
gila,” jawab si Kantan pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia sangat
mengenal bahwa suara itu adalah suara ibunya. Namun,
ia malu memperkenalkan istrinya dengan ibunya yang miskin
lagi tua itu.
Panggilan si ibu
kembali terdengar semakin dekat.
“Kantan, Anakku!!!
Kamu di mana… ?”
“Ini ibumu datang,
Nak!” teriak sang ibu.
Maka semakin yakinlah
istri si Kantan, kalau yang memanggil suaminya itu adalah mertuanya. Ia semakin
penasaran ingin melihat ibu mertuanya yang sudah lama ia rindukan. Ia pun
segera lari keluar kapal, tapi disusul oleh si Kantan. Dari anjungan kapal,
tampaklah oleh mereka seorang perempuan tua yang sedang mendayung sampan ke
arah kapalnya.
“Kantaaan…Anakku! Aku
ini ibumu yang telah kau tinggalkan dulu,” teriak ibu tua itu.
“Hei, perempuan
jelek! Enak saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu seburuk
kamu!” hardik si Kantan dengan kesal.
“Tenang, Kanda! Siapa tahu
wanita itu benar ibu Kanda. Sepertinya ia sangat mengenal Kanda,” sahut sang
istri menenangkan suaminya.
“Tidak, Istriku! Ia
bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,”
bantah si Kantan.
“Hei, orang tua gila!
Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa sial!” si Kantan kembali
mencaci-maki ibunya.
“Pengawal! Usir dia
dari sini!” perintah si Kantan.
Setelah beberapa
pengawal mengusir perempuan tua itu, si Kantan kembali memerintahkan
pengawalnya untuk memutar haluan kapal dan kembali ke Malaka.
Sementera itu,
perempuan tua itu bagai disambar petir melihat perilaku anak kesayangannya,
yang sungguh di luar dugaan. Dadanya terasa sesak, air matanya pun tak terbendung lagi. Dengan sisa tenaganya, ia
mengayuh sampannya kembali ke gubuknya dengan perasaan
hancur-lebur. Ia sangat sedih karena telah diusir oleh anak kandungnya sendiri.
Dengan deraian air mata,
ia pun berdoa, “Ya Tuhan, anak itu telah mendurhakai ibunya yang telah
melahirkan dan membesarkannya ini. Berilah ia pelajaran, agar ia menjadi anak
yang tahu berbakti kepada orang tua!”
Baru saja ucapan itu
lepas dari mulut sang ibu, tiba-tiba
petir menyambar, hujan badai yang sangat dahsyat pun datang. Tak berapa lama, air
Sungai Barumun pun bergulung-gulung lalu menghantam kapal si Kantan dengan bertubi-tubi. Tak ayal lagi, kapal besar
yang megah itu pun tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Seluruh awak kapal tak dapat menyelamatkan
diri, termasuk si Kantan dan istrinya. Setelah kapal itu sudah tak tampak lagi, suasana
kembali tenang seperti semula.
Beberapa hari
kemudian, muncullah sebuah pulau kecil
di tempat kejadian itu, yaitu tepatnya di tengah-tengah Sungai Barumun dan
berhadapan dengan kota Labuhan Bilik.
Kemudian pulau itu oleh masyarakat setempat diberi nama Pulau Si Kantan.
*
* *
Cerita di atas
termasuk cerita teladan yang berisi pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral
yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sikap durhaka kepada orang
tua. Akibat buruk itu dialami si Kantan, karena ia tidak mau mengakui ibu
kandungnya sendiri setelah ia menjadi kaya-raya. Bahkan, ia berani menghardik
dan mengusir ibunya. Maka, Tuhan pun murka kepadanya, dan akhirnya ia ditenggelamkan
bersama kapalnya yang besar dan megah itu ke dasar Sungai Barumun.
Durhaka kepada orang
tua merupakan perbuatan yang sangat tercela. Oleh karena itu, sikap ini sangat
dipantangkan dalam kehidupan
orang-orang Melayu. Terkait dengan hal ini, orang
tua-tua Melayu banyak menyebutkan dalam untaian pantun
mengenai keburukan sikap ini, di antaranya:
wahai ananda kekasih
bunda,
janganlah durhaka kepada ibu bapa
tunjuk ajarnya janganlah lupa
supaya hidup aman sentosa
janganlah durhaka kepada ibu bapa
tunjuk ajarnya janganlah lupa
supaya hidup aman sentosa
(SM/Sas/50/12-2007)
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Syamsuri, Maulana. t.t. Danau Toba dan Pulau Samosir dengan Beberapa Dongeng Sumatra Utara. Surabaya: Greisinda Press.
- Anonim. “Kabupaten Labuhanbatu”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Labuhan_Batu, diakses tanggal 11 Desember 2007).
- Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
- Sinabutar, Jumihar. “Labuhanbatu dan Pariwisatanya”, (http://www.cgi2you.com/members/message/labatu/00017.shtml, diakses tanggal 11 Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar