Dewi Sri, Dewi Kesuburan
Jawa Tengah - Indonesia
Dewi Sri, Dewi
Kesuburan
Rating : 2.6 (32 pemilih)
Dewi Sri
adalah seorang putri dari seorang raja yang
bernama Prabu Mahapunggung. Oleh masyarakat petani
di Jawa Tengah, Dewi Sri dipercaya sebagai lambang
kemakmuran dan kesuburan. Dewi Sri diyakini sebagai sosok suci yang mengatur
kesejahteraan manusia di bumi. Bagaimanakah kisah tentang Dewi
Sri yang sangat dihormati sebagai ibu kehidupan itu? Jawabannya
dapat Anda temukan dalam cerita Dewi Sri, Dewi Kesuburan
berikut ini!
* * *
Dahulu, di sebuah tempat di Jawa tengah,
tersebutlah seorang raja bernama Prabu Sri Mahapunggung atau Bathara Srigati
yang bertahta di sebuah kerajaan bernama Kerajaan Medang Kamulan. Bathara
Srigati adalah putra Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri Sekar atau Bathari Sri
Widowati yang diutus ke bumi untuk menjaga kelestarian dunia.
Prabu Sri Mahapunggung mempunyai seorang
putri bernama Dewi Sri. Ia adalah putri sulung sang Prabu yang diyakini sebagai
titisan neneknya, Bathari Sri Widowati. Selain cantik dan rupawan, Dewi Sri
adalah seorang putri yang cerdas, baik hati, lemah lembut, sabar, halus tutur
katanya, luhur budi bahasanya, dan bijaksana. Dewi Sri mempunyai tiga adik
kandung yaitu Sadana, Wandu, dan Oya. Ia bersama adiknya, Sadana, dikenal
sebagai lambang kemakmuran hasil bumi. Dewi Sri sebagai dewi padi, sedangkan
Sadana sebagai dewa hasil bumi lainnya seperti umbi-umbian, kentang,
sayur-sayuran, dan buah-buahan. Oleh karena itu, keduanya tidak pernah
dipisahkan.
Suatu ketika, Sadana diminta oleh ayah dan
ibunya untuk menikahi seorang putri bernama Dewi Panitra, cucu Eyang
Pancareshi. Namun, Sadana menolak karena tidak ingin mendahului kakaknya dengan
alasan bahwa hal itu kerap menjadi penyebab terjadinya berbagai kesulitan di
kemudian hari. Melihat sikap putranya itu, Prabu Sri Mahapunggung berupaya
membujuknya.
“Sadana, Putraku. Jika kamu menikah dengan
Dewi Panitra, Ayah akan menobatkanmu menjadi Putra Mahkota. Kamulah yang akan
menggantikan Ayah menjadi raja negeri ini,” bujuk sang Prabu.
Sadana hanya terdiam. Hatinya sedang
gundah gulana.
“Sudahlah, Putraku. Kamu tidak usah
memikirkan kakakmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menikahkannya jika kelak
menemukan jodohnya,” ujar sang Prabu.
Meskipun berkali-kali dibujuk, Sadana
tetap bersikukuh menolak pernikahan tersebut.
“Maafkan Sadana, Ayahanda Prabu. Tidak
sepantasnya seorang adik mendahului kakaknya menikah,” kata Sadana.
Rupanya, perkataan Sadana itu membuat
marah ayahandanya. Ia dianggap sudah berani bersikap lancang karena tidak patuh
pada nasehat orang tua. Untung sang Ibu berhasil meredam kemarahan ayah Sadana.
Pada malam harinya, Sadana sulit
memejamkan mata. Pikirannya sangat kacau, sedih, dan bingung. Baginya,
perjodohan itu bertentangan dengan perinsip hidupnya. Setelah memikirkan segala
resikonya, akhirnya malam itu Sadana pergi meninggalkan istana secara
diam-diam. Alangkah murkanya sang Prabu saat mengetahui hal itu. Kemarahannya
pun ia lampiaskan kepada Dewi Sri karena dianggap sebagai penyebab minggatnya
Sadana. Tuduhan itu membuat sedih hati sang Putri. Karena merasa serba salah
hidup di istana, akhirnya ia pun ikut kabur dari istana.
Perginya Dewi Seri dari istana membuat
Prabu Sri Mahapunggung semakin murka. Saking marahnya, sang Prabu mengutuk Dewi
Sri menjadi ular sawah, sedangkan Sadana dikutuk menjadi burung sriti. Dewi Sri
berjalan ke arah timur tanpa tujuan yang pasti, sedangkan Sadana terbang tanpa
arah dan tujuan.
Suatu ketika, ular sawah penjelmaan Dewi
Sri tiba di Dusun Wasutira. Karena lelah, ular sawah itu kemudian tidur
melingkar di lumbung padi milik seorang penduduk bernama Kyai Brikhu. Petani
itu memiliki seorang istri bernama Ken Sanggi yang sedang mengandung bayi
pertama mereka. Pada malam harinya, Kyai Brikhu bermimpi mendapat petunjuk
bahwa bayi yang dikandung istrinya adalah titisan Dewi Tiksnawati. Kelak
setelah lahir, bayi itu akan dijaga oleh seekor ular sawah. Jika ular sawah itu
mati, maka bayinya pun akan mati.
“Oh, alangkah bahagianya hidupku jika
mimpi itu kelak menjadi kenyataan. Aku pun berjanji akan menjaga dan merawat
ular sawah itu,” gumam Kyai Brikhu dengan perasaan gembira.
Hari itu, persediaan beras Kyai Brikhu untuk
dimasak oleh istrinya telah habis. Ketika hendak mengambil padi di lumbungnya,
ia dikejutkan oleh seekor ular sawah yang melingkar di atas tumpukan padinya.
Petani itu pun langsung teringat pada mimpinya.
“Mungkin ular inilah yang menjaga anakku
kelak,” gumamnya.
Kyai Brikhu pun akhirnya merawat ular
sawah itu dengan baik. Ketika istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan,
ia kemudian meletakkan ular sawah itu di dekat bayinya yang berada di kamar
tengah di rumahnya. Sejak itulah, Kyai Brikhu bersama sang Istri merawat anak
mereka bersama ular sawah itu dengan hati-hati. Setiap hari, mereka memberi
makan ular itu dengan katak.
Suatu malam, Kyai Brikhu kembali bermimpi.
Dalam mimpinya, ular sawah itu menolak diberi makan katak. Ular itu minta
diberi sesajen berupa sedah ayu, yakni sirih beserta
perlengkapannya, bunga, dan lampu yang harus selalu dinyalakan. Ketika
terbangun, Kyai Brikhu pun langsung menyiapkan sesaji sebagaimana permintaan
ular sawah itu.
Sementara itu, Dewi Tiksnawati yang
menitis pada tubuh anak Kyai Brikhu membuat huru-hara di kediaman para dewa.
Hal itu membuat Sang Hyang Jagadnata atau Batara Guru murka.
“Wahai, para dewa! Pergilah ke bumi, beri
bencana pada bayi tempat Dewi Tiksnawati menitis!” titah sang Batara Guru.
Para dewa pun segera meluncur ke bumi.
Namun, usaha mereka memberi bencana pada bayi itu gagal karena pengaruh tolak
bala dari Kyai Brikhu dan ular sawah. Berkali-kali para dewa itu berupaya
melakukan hal itu, namun mereka tetap saja gagal. Setelah melakukan
penyelidikan, para dewa dan Batara Guru pun mengetahui bahwa kegagalan mereka
disebabkan oleh Dewi Sri yang setia melindungi bayi itu.
Atas perintah Batara Guru, para bidadari
pun turun ke bumi untuk membujuk Dewi Sri agar mau menjadi bidadari di
Kahyangan.
“Wahai, Dewi Sri! Kami diutus oleh Batara
Guru untuk memintamu ke Kahyangan. Sang Batara Guru akan menjadikanmu bidadari
untuk melengkapi kami para bidadari yang ada di Kahyangan,” bujuk salah satu
bidadari.
“Baiklah, para bidadari. Saya bersedia
menerima permintaan Batara Guru, tapi dengan satu syarat,” ujar Dewi Sri.
“Apakah syarat itu, wahai Dewi Sri?” tanya
bidadari.
“Saya mohon adik saya, Sadana, yang telah
dikutuk menjadi burung sriti agar dikembalikan wujudnya menjadi manusia,” pinta
Dewi Sri.
Para bidadari pun menyanggupi permintaan
Dewi Seri. Namun, ketika mereka hendak memenuhi permintaan tersebut, ternyata
Sadana telah dikembalikan menjadi manusia oleh sosok yang sakti, yaitu Bagawan
Brahmana Marhaesi, putra Sang Hyang Brahma. Bahkan, Sadana telah dinikahkan
dengan seorang putri bernama Dewi Laksmitawahni. Kelak bila mereka telah
memiliki putra, Sadana akan diangkat menjadi dewa.
Berita tentang Sadana kemudian disampaikan
kepada Dewi Sri. Dewi Sri pun menyambutnya dengan perasaan senang. Karena
keinginannya telah terkabulkan, akhirnya Dewi Sri yang berwujud ular sawah itu
dikembalikan ke wujud aslinya oleh para bidadari ke wujud aslinya, yakni
seorang gadis yang cantik jelita.
Sementara itu, Kyai Brikhu amat terkejut karena
ular sawah di petanen-nya telah lenyap. Yang
dilihatnya hanya seorang gadis cantik yang sedang duduk di samping bayinya.
“Hai, anak gadis. Kamu siapa dan kenapa
berada di sini?” tanya Khai Brikhu heran.
Dewi Sri pun memperkenalkan dirinya lalu
menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi di rumah itu. Akhirnya, Kyai
Brikhu pun tahu bahwa Dewi Sri adalah putri Prabu Mahapunggung dari Kerajaan
Medang Kamulan. Sesuai dengan janjinya, Dewi Sri pun akan segera ke Kahyangan
untuk dijadikan bidadari. Sebelum pergi, Dewi Sri tidak lupa berterima kasih
dan berpesan kepada Kyai Brikhu.
“Terima kasih, Kyai Brikhu atas segala
bantuannya selama saya tinggal di rumah ini,” ucap Dewi Sri, “Agar sandang dan
pangan keluargamu selalu tercukupi, jangan lupa untuk memberi memberikan
sesajen di ruang tengah rumahmu.”
Usai berpesan, Dewi Sri pun moksa dan
kemudian menuju ke Kahyangan. Sepeninggal Dewi Sri, Kyai Brikhu pun langsung
menyediakan sesajen di ruang tengah rumahnya. Sejak itulah, orang Jawa selalu
menyimpan atau memajang gambar ular di kamar tengah rumah mereka sebagai
perlambangan sosok Dewi Sri yang telah memberikan kemakmuran dan kesuburan
dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, orang juga percaya bahwa jika ada ular
masuk ke dalam rumah, itu berarti pertanda sawahnya akan memberikan hasil atau
rezeki yang baik. Itulah sebabnya, masyarakat petani di Jawa amat menghargai
ular sawah dengan cara memberinya sesaji.
* * *
Demikian cerita Dewi
Sri, Dewi Kesuburan dari daerah Jawa Tengah. Pesan moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat suka memaksakan kehendak
seperti Prabu Mahapunggung akan mengakibatkan bencana bagi diri dan
keluarganya, yaitu minggatnya Raden Sadana dan Dewi Sri dari istana. (Samsuni/sas/253/05-11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar