Legenda Gunung Wurung
Jawa Tengah - Indonesia
Rating : 2.6 (88 pemilih)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Gunung Wurung adalah sebuah gunung
yang terletak di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Bentuk gunung ini
cukup unik, karena tingginya hanya berkisar 80 meter dan tidak memiliki puncak
tertinggi. Menurut masyarakat setempat, gunung ini dibuat oleh para dewa dari
Kahyangan. Namun, mereka telah menghentikan pekerjaannya sebelum gunung itu
selesai dibuat. Mengapa para dewa tidak menyelesaikan pembuatan gunung itu
hingga tuntas? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Gunung Wurung berikut ini.
* * *
Alkisah, di
sebuah daerah (yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Karangsambung),
terdapat sebuah perkampungan kecil yang wilayahnya terdiri dari hamparan tanah
datar. Tak satu pun gundukan tanah atau perbukitan yang terlihat di sekitarnya.
Di suatu malam yang sunyi senyap, para
sesepuh kampung tampak sedang berdoa kepada para dewa di Kahyangan. Dengan
penuh khusyuk, mereka memohon agar dibuatkan sebuah gunung di dekat tempat
tinggal mereka. Rupanya, doa mereka dikabulkan oleh para dewa. Pembuatan gunung
itu akan dimulai besok harinya dan akan dikerjakan dalam waktu semalam. Tetapi
dengan syarat, tak seorang pun warga yang boleh melihat pada saat gunung itu
dibuat.
Para sesepuh kampung menyanggupi
persyaratan itu. Keesokan paginya, mereka mengumpulkan para warga untuk
menyampaikan berita gembira dan persyaratan tersebut.
“Wahai, seluruh wargaku! Kami
menghimbau kepada kalian semua agar pada saat hari menjelang senja, masuklah ke
dalam rumah kalian masing-masing dan tak seorang pun yang boleh keluar rumah
hingga matahari terbit besok pagi!” ujar seorang sesepuh kampung.
“Maaf, Tuan! Bencana apa yang akan
melanda kampung kita? Kenapa kami dilarang keluar rumah?” tanya seorang warga
dengan bingung.
“Ketahuilah, semua bahwa para dewa
akan membuatkan sebuah gunung untuk kita dan tak seorang pun yang boleh melihat
ketika mereka sedang bekerja,” jelas seorang sesepuh kampung yang lain.
Setelah mendengar penjelasan itu,
barulah para warga mengerti mengapa mereka dilarang keluar rumah. Ketika hari
menjelang senja, suasana kampung mulai sepi. Seluruh warga telah masuk ke dalam
rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Tak berapa lama kemudian, para dewa pun
turun dari Kahyangan untuk mulai bekerja membangun sebuah gunung di daerah hulu
kampung. Mula-mula mereka membangun tiang-tiang yang kokoh.
Setelah separuh malam bekerja, para
dewa telah selesai membangun tiang-tiang tersebut. Tiang-tiang tersebut
kemudian mereka timbuni dengan tanah hingga nantinya membentuk sebuah gunung.
Para dewa bekerja sesuai dengan tugas masing-masing tanpa berbicara sepatah
kata pun. Mereka terus bekerja hingga larut malam tanpa mengenal lelah.
Ketika hari menjelang pagi, pembuatan
gunung itu hampir selesai, tinggal menyelesaikan penimbunannya yang tersisa
sedikit lagi. Pada saat para dewa masih sibuk bekerja, tiba-tiba dari arah
kampung seorang gadis berjalan menuju ke luk ulo
(sungai) yang berada di sekitar tempat pembuatan gunung tersebut. Rupanya,
gadis itu tidak mengetahui pengumuman tentang larangan keluar rumah pada malam
itu. Sebab, pada waktu pengumuman itu disampaikan oleh salah seorang sesepuh
kampung, ia tidak hadir dan tak seorang pun warga yang memberitahu tentang hal
itu.
Gadis itu datang ke sungai karena
ingin mencuci beras untuk dimasak. Ia berjalan tanpa memperhatikan keadaan di
sekelilingnya karena suasana masih gelap. Pada saat akan turun ke sungai, gadis
itu terperanjat karena tiba-tiba di hadapannya ada sebuah bukit.
“Hah, kenapa tiba-tiba ada bukit di
tempat ini? Padahal, hari-hari sebelumnya tempat ini masih datar? Ya Tuhan,
mimpikah aku ini?” gumam gadis itu seolah tidak percaya terhadap apa yang
dilihatnya.
Namun, begitu melihat beberapa sosok
makhluk yang menyeramkan bergerak cepat sambil mengangkat batu besar tanpa
sepatah kata pun, gadis itu langsung berlari meninggalkan sungai karena
ketakutan.
“Tolooong… Tolooong… Tolong aku!”
teriaknya dengan keras.
Gadis itu terus berlari tanpa
memperdulikan lagi keadaan dirinya sehingga beras yang hendak dicucinya
dilemparkan begitu saja. Tak ayal lagi, beras tersebut berceceran di sekitar
bukit. Konon, beras tersebut menjelma menjadi bebatuan yang bentuknya mirip
dengan beras.
Para dewa yang mendengar suara
teriakan gadis itu menjadi tersentak. Mereka pun menyadari bahwa ternyata
pekerjaan mereka telah disaksikan oleh manusia.
“Penduduk kampung telah melanggar
perjanjian kita. Ayo kita tinggalkan tempat ini!” seru salah satu dewa kepada
dewa yang lainnya.
Akhirnya, para dewa tersebut
menghentikan pekerjaannya. Mereka meninggalkan tempat itu dan bergegas kembali
ke Kahyangan. Padahal, pembangunan gunung itu belum selesai. Akhirnya, batallah
pembuatan gunung itu.
* * *
Demikianlah cerita Legenda Gunung Wurung dari daerah
Kebumen, Jawa Tengah. Masyarakat setempat menamainya “Gunung Wurung” karena
menganggap gunung tersebut belum jadi atau belum selesai. Kata wurung dalam bahasa Jawa berarti
belum jadi atau batal. Secara geologis, Gunung Wurung terbentuk dari batuan
intrusi, materi batuan yang sebelumnya berupa bahan cair, pijar, dan panas
berasal dari magma di perut bumi yang hendak menerobos permukaan, namun
terlanjur membeku sebelum muncul ke permukaan. Sedangkan batuan berwarna yang
mirip dengan beras disebut dengan batu diabas.
Dengan membaca cerita ini, setidaknya
kita telah mengetahui mengapa Gunung Wurung berbentuk demikian (hanya separuh),
karena pembangunannya tidak diselesaikan oleh para dewa, sebagaimana yang
diyakini oleh empunya cerita. (Samsuni/sas/183/01-10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar