Legenda Rawa Pening
Jawa Tengah - Indonesia
Rawa
Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah
antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki ukuran
sekitar 2.670 hektar yang menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan
Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Menurut cerita, danau ini terbentuk
akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Peristiwa apakah
itu? Berikut kisahnya dalam cerita Legenda
Rawa Pening.
* * *
Dahulu,
di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama
Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai
Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh
masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar
dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu
menyelesaikannya melalui musyawarah.
Suatu
hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama
kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Istriku,
kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.
Nyai
Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya
sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar
setelah Ki Hajar memegang pundaknya.
“Eh,
Kanda,” ucapnya dengan terkejut.
“Istriku,
apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.
“Tidak
memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda
sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan
seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta,
“Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan
membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”
Mendengar
ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.
“Sudahlah,
Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita
harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.
“Iya,
Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata.
Ki
Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat
dicintainya itu.
“Baiklah,
Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi
bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai
Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah.
Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah
kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi.
Berminggu-minggu,
bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum
juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan
cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.
Suatu
hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir
bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya
semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah
terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan
seekor naga.
Ia
menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik
suaminya yang bernama Baru
Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan
Brahmana, yaitu seorang resi
yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti
lonceng.
Ajaibnya,
meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai
Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi
lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga
mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal tersebut,
ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum
itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh
perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu
saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa
sepengetahuan warga.
Waktu
terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu
bertanya kepada ibunya.
“Bu,
apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai
Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu
keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah
saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya.
“Iya,
anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng
Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah
putranya,” kata Nyai Selakanta.
“Tapi,
Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru
Klinthing dengan ragu.
“Jangan
khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru
Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah
memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju
lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati
seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya
mengusik ketenangan pertapa itu.
“Hai,
siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan
saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru
Klinting.
Betapa
terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.
“Siapa
kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan
heran.
“Saya
Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini
tempat pertapaan Ki Hajar?”
“Iya,
aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya
pertapa itu penasaran.
Mendengar
jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia
kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika
dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun,
ia belum yakin sepenuhnya.
“Baiklah,
aku percaya jika pusaka Baru
Klinthing itu adalah milikku. Tapi,
bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu
lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.
Baru
Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah.
Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung
Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya.
Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur.
“Pergilah
bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah
menjadi manusia.”
“Baik,”
jawab Baru Klinthing.
Sementara
itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun
sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok
bermaksud mengadakan merti
dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk
memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai
makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para
tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit
Tugur.
Sudah
hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap.
Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang
bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai
menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di
desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.
Ketika
para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang
tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak
laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru
Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan
kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki,
bahkan mengusirnya.
“Hai,
pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh
malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan
sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan
seorang janda tua bernama Nyi Latung.
“Hai,
anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua
orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab
Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi
Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu
segera menghidangkan makanan lezat.
“Terima
kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di
desa ini.”
“Iya,
cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang
Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.
“Kalau,
begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek
mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung
kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru
Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah
keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai,
kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!”
tantang Baru Klinthing.
Merasa
diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para
anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika
giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum
laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari
mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah,
kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru
Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut
lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun
menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar
dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga
terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri.
Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka.
Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal
dengan Rawa Pening.
Sementara
itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang
sudah menunggu di atas lesung yang
berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah
peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
* * *
Demikian
cerita Legenda Rawa Pening
dari Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah
sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak
terpuji. Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik
yang patut untuk dicontoh, tanpa memandang latar belakang status sosial, agama,
asal, dan kondisi fisik orang yang ditolong. (Samsuni/sas/282/10-11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar