Jaka Tarub
Jawa Tengah - Indonesia
Buku 366 Cerita Rakyat Nusantara
Rating : 2.5 (285
pemilih)
Dahulu kala, di Desa Tarub, tinggallah seorang janda
bernama Mbok Randa
Tarub. Sejak suaminya meninggal dunia, ia mengangkat seorang bocah
laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewasa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub.
Jaka
Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia
membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang
itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub seperti anaknya
sendiri.
Waktu terus berlalu. Jaka Tarub beranjak dewasa.
Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang mendambakan
untuk menjadi istrinya. Namun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin
berbakti kepada Mbok Randha yang dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Ia bekerja
semakin tekun, sehingga hasil sawah ladangnya melimpah. Mbok Randha yang pemurah
akan membaginya dengan tetangganya yang kekurangan. “Jaka Tarub, Anakku.
Mbok lihat kamu sudah dewasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah menikah,
Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari.
“Tarub
belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.
“Tapi
jika Simbok
tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.
“Sudahlah,
Mbok. Semoga saja Simbok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat.
“Hari
sudah siang, tetapi Simbok belum bangun. Kadingaren
...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi. “Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba
kening simboknya.
“Iya,
Le,” jawab
Mbok Randha lemah.
“Badan
Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun dhadhap
serep untuk mengompres simboknya. Namun rupanya umur Mbok Randha hanya sampai
hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas terakhirnya.
Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering
melamun. Kini sawah ladangnya terbengkalai. “Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.
Suatu
malam, Jaka Tarub bermimpi memakan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya,
Jaka Tarub menjadi berselera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka
Tarub pergi ke hutan sambil membawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga
siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa,
kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang diambah manusia. Ia
kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi
membuatnya tertidur.
Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar derai tawa perempuan
yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. “Suara orangkah itu?” gumamnya.
Pandangannya ditujukan ke telaga. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik
tengah bermain-main air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub menganga melihat
kecantikan mereka. Tak jauh dari telaga, tergeletak selendang mereka. Tanpa
pikir panjang, diambilnya satu selendang, kemudian disembunyikannya.
“Nimas,
ayo cepat naik ke darat. Hari sudah sore. Kita harus segera kembali ke kahyangan,”
kata Bidadari tertua. Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kembali
mengenakan selendang masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tak menemukan
selendangnya.
“Kakangmbok,
selendangku tidak ada,” katanya.
Keenam kakaknya turut membantu mencari, namun hingga
senja tak ditemukan juga. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bisa menunggumu
lama-lama. Mungkin sudah nasibmu
tinggal di mayapada,”
kata Bidadari tertua. “Kami kembali ke kahyangan,”
tambahnya.
Nawang
Wulan menangis sendirian meratapi nasibnya. Saat itulah Jaka Tarub menolongnya.
Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah.
Beberapa bulan kemudian, Jaka Tarub menikahi Nawang Wulan. Keduanya hidup
berbahagia. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawangsih, anak mereka.
Pada suatu hari, Nawang wulan berpesan kepada Jaka
Tarub, “Kakang,
aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke kali. Tapi jangan dibuka
tutup kukusan
itu,” pinta Nawang Wulan. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub penasaran dengan
larangan istrinya. Maka dibukanya kukusan itu. Setangkai padi tampak berada di
dalam kukusan. “Pantas padi di lumbung tak pernah habis. Rupanya istriku
dapat memasak setangkai padi menjadi nasi satu kukusan penuh,” gumamnya. Saat
Nawang Wulan pulang, ia membuka tutup kukusan. Setangkai padi masih tergolek
di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah
kesaktiannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi beras
untuk dimasak, seperti wanita umumnya. Karena tumpukan padinya terus
berkurang, suatu waktu, Nawang Wulan menemukan selendang bidadarinya
terselip di antara tumpukan padi. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang menyembunyikan
selendang itu. Dengan segera dipakainya selendang itu dan pergi menemui
suaminya.
“Kakang,
aku harus kembali ke kahyangan. Jagalah Nawangsih. Buatkan dangau di sekitar
rumah. Setiap malam letakkan Nawangsih di sana. Aku akan datang menyusuinya.
Namun Kakang janganlah mendekat,” kata Nawang Wulan, kemudian terbang ke
menuju kahyangan.
Jaka
Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam
ia memandangi anaknya bermain-main dengan ibunya. Setelah Nawangsih
tertidur, Nawang Wulan kembali ke kahyangan. Demikian hal itu terjadi
berulang-ulang hingga Nawangsih besar. Walaupun demikian, Jaka Tarub dan
Nawangsih merasa Nawang Wulan selalu menjaga mereka. Di saat keduanya
mengalami kesulitan, bantuan akan datang tiba-tiba. Konon itu adalah
bantuan dari Nawang Wulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar