Drama merupakan sebuah seni peran yang terdiri dari satu kesatuan elemen
yang kompleks. Sebuah pertunjukan drama dikatakan berhasil apabila para
aktornya dapat memainkan perannya masing-masing sesuai alur cerita. Bukan hanya
itu, elemen-elemen lain yang terjun langsung dalam pementasan drama, seperti
staf produksi dan staf artistik juga ikut menentukan keberhasilan sebuah
pementasan drama.
Dari penjelasan di atas, maka patutlah drama
dikatakan sebagai suatu materi belajar yang kompleks dan membutuhkan proses
yang kooperatif di dalamnya.
Standar Kompetensi:
Berbicara
14. Mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk
pementasan drama
Kompetensi Dasar:
14.1 Mengekspresikan dialog para tokoh dalam
pementasan drama.
14.2 Menggunakan
gerak-gerik, mimik, dan intonasi, sesuai dengan watak tokoh dalam pementasan
drama.
Dalam pengertiannya yang paling umum, drama
adalah setiap karya yang dibuat untuk dipentaskan di atas panggung oleh para
aktor. Secara sempit, drama adalah suatu pertunjukan yang serius tentang
hal-hal yang dianggap penting. Pengertian ini berasal dari Prancis pertengahan
abad ke-18, ketika Diderot dan Beaumarchais menggunakan istilah tersebut untuk
menyebut drama-drama mereka tentang kehidupan masyarakat kelas menengah. Di
jaman modern, istilah ini mencakup semua pertunjukan teater yang serius (Ibnu
Wahyudi, dkk., 2006:117).
Elizabeth Lutters (2004:35) mengungkapkan
bahwa drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memerlihatkan
secara verbal adanya dialogue atau percakapan di antara tokoh-tokoh yang
ada.
Drama berasal dari bahasa Yunani “draomai”
yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, dan sebagainya. Drama juga berari
hidup yang dilukiskan dengan gerak. Konflik dari sifat manusia merupakan sumber
pokok drama. Dalam bahasa Belanda, drama adalah toneel yang kemudian
oleh PKG Mangkunegara VII dibuat istilah “sandiwara” (Vignet, mentorplus.multiply.com:
2008).
Secara umum, drama dan teater memiliki makna
yang sama. Keduanya sama-sama merupakan pertunjukan adegan/ akting di depan
penonton di sebuah panggung. Kata drama dan teater juga sama-sama berasal dari
bahasa Yunani Kuno.
Perbedaan drama dan teater hanya terletak
pada asal katanya . Jika drama berasal dari kata draomai yang berarti
berbuat, berlaku, bertindak, dan sebagainya, maka tater berasal dari theatron
yang berarti gedung atau tempat pertunjukan. Selain itu, kita juga mengenal
istilah sandiwara. Sandiwara berasal dari bahasa Belanda, yaitu toneel
yang kemudian oleh PKG Mangkunegara VII dibuat istilah sandiwara.
Dari istilah drama tersebut, maka lahirlah
istilah lain yang sering kalian dengar, di antaranya film, sinetron, film
televisi (FTV), ataupun ludruk, dagelan, lenong, dan ngelaba. Pada dasarnya,
semua itu memerlukan kemampuan bermain drama dalam setiap pertunjukannya, hanya
saja istilah-istilah di atas digolongkan berdasarkan sifat, objek, dan
medianya.
Elizabeth Lutters (2006:35)
mengklasifikasikan drama menjadi beberapa jenis, yaitu drama tragedi, komedi,
misteri, laga/ action, melodrama, dan drama sejarah.
a. Drama Tragedi
Cerita drama yang termasuk jenis ini adalah
cerita yang berakhir dengan duka lara atau kematian. Contoh film yang termasuk
jenis ini di antaranya Romeo dan Juliet atau Ghost. Sementara
contoh FTV misteri yang termasuk dalam jenis ini misalnya Makhluk Tengah
Malam yang ending-nya bercerita tentang si istri yang melahirkan
bayi genderuwo. Cerita ini bukan berakhir dengan kematian, tapi kekecewaan atau
kesedihan. Oleh karena itu, cerita Makhluk Tengah Malam dapat
digolongkan ke dalam jenis drama tragedi.
b. Drama Komedi
Jenis drama ini dapat digolongkan ke beberapa
jenis lagi. Berikut yang termasuk dalam drama komedi.
1. Komedi Situasi, cerita lucu yang kelucuannya bukan berasal
dari para pemain, melainkan karena situasinya. Contoh drama jenis ini antara
lain Sister Act dan Si Kabayan. Sementara contoh sinetron yang
termasuk dalam jenis ini antara lain Kawin Gantung, Bajaj Bajuri,
dan Kecil-Kecil Jadi Manten.
2. Komedi Slapstic, cerita lucu yang diciptakan dengan adegan
menyakiti para pemainnya. Misalnya, saat di kelas terjadi kegaduhan karena sang
guru belum datang. Kemudian teman yang “culun” digoda teman yang lain dengan
menulisi pipinya menggunakan spidol. Contoh film komedi slapstic ini di
antaranya The Mask dan Tarzan.
3. Komedi Satire, cerita lucu yang penuh sindiran tajam.
Beberapa film yang termasuk jenis ini adalah Om Pasikom dan Semua
Gara-Gara Ginah. Sementara contoh sinetronnya adalah Wong Cilik.
4. Komedi Farce, cerita lucu yang bersifat dagelan, sengaja
menciptakan kelucuan-kelucuan dengan dialog dan gerak laku lucu. Beberapa
tayangan televisi yang termasuk jenis ini adalah Srimulat, Toples, Ba-sho,
Ngelaba, dan lain sebagainya.
c. Drama Misteri
Jenis drama ini bisa dibagi lagi menjadi beberapa bagian.
1. Kriminal, misteri yang sangat terasa unsur keteganyannya
atau suspense dan biasanya menceritakan seputar kasus pembunuhan. Si
pelaku biasanya akan menjadi semacam misteri karena penulis skenario memerkuat
alibinya. Sering kali dalam cerita jenis ini beberapa tokoh bayangan dimasukkan
untuk mengecoh penonton.
2. Horor, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang
berkaitan dengan roh halus.
3. Mistik, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang
bersifat klenik atau unsur ghaib.
d. Drama Laga/ Action
Drama laga digolongkan menjadi dua, yaitu yang bersifat modern dan
tradisional.
1. Modern, cerita drama yang lebih banyak menampilkan
adegan perkelahian atau pertempuran, namun dikemas dalam setting yang
modern. Contoh jenis sinetron ini misalnya Deru Debu, Gejolak Jiwa, dan Raja
Jalanan.
2. Tradisional, cerita drama yang juga menampilkan adegan laga, namun dikemas secara
tradisional. Beberapa sinetron yang termasuk jenis ini antara lain Misteri
Gunung Merapi, Angling Dharma, Jaka Tingkir, dan Wali Songo.
Untuk jenis drama laga ini biasanya skenario
tidak banyak memakai dialog panjang, tidak seperti skenario drama tragedi atau
melodrama yang kekuatannya terletak pada dialog. Jenis ini lebih banyak
mengandalkan action sebagai daya tarik tontonannya. Penontonnya bisa
merasakan semangat ketika menonton film ini.
e. Melodrama
Skenario jenis ini bersifat sentimental dan
melankolis. Ceritanya cenderung terkesan mendayu-dayu dan mendramatisir
kesedihan. Emosi penonton dipancing untuk merasa iba pada tokoh protagonis.
Penulis skenario cerita jenis ini jangan terjebak untuk membuat alur yang
lambat. Konflik harus tetap runtun dan padat. Justru dengan konflik yang
bertubi-tubi pada si tokoh akan semakin membuat penonton merasa kasihan dan
bersimpati pada penderitanya. Contoh sinetron jenis ini antara lain Bidadari,
Menggapai Bintang, dan Chanda.
f. Drama Sejarah
Drama sejarah adalah cerita jenis drama yang
menampilkan kisah-kisah sejarah masa lalu, baik tokoh maupun peristiwanya.
Contoh film yang bercerita tentang peristiwa sejarah antara lain November
1828, G-30-S/PKI, Soerabaya ’45, Janur Kuning, atau Serangan Fajar.
Sementara kisah yang menceritakan sejarah tapi lebih ditekankan pada tokohnya
antara lain Tjoet Njak Dhien, Wali Songo, dan R.A. Kartini.
a. Tema
Tema cerita adalah pokok pikiran dalam sebuah karangan. Atau, dapat
diartikan pula sebagai dasar cerita yang ingin disampaikan oleh penulisnya
(Lutters, 2006:41).
Tema drama harus disesuaikan dengan penonton. Jika drama ditujukan
kepada pelajar, maka tema ceritanya juga harus sarat dengan pendidikan. Jangan
sampai tema yang disajikan justru menjerumuskan pelajar sebagai penonton pada
hal-hal yang tidak edukatif.
b. Alur Cerita (Plot)
Plot atau alur adalah pola dasar dari
kejadian-kejadian yang membangun aksi yang penting dalam sebuah drama. Plot
drama harus dibangun mulai dari awal, lalu terdapat kemajuan-kemajuan, dan
penyelesaian masalah yang diberikan kepada penonton. Plot menjelaskan bagaimana
sebuah kejadian memengaruhi kejadian yang lain dan mengapa orang-orang yang ada
di dalamnya berlaku seperti itu (Suban, 2009: 79).
Somad dkk. ( 2008:149) menjabarkan alur
menjadi beberapa bagian berikut.
1. Eksposisi/ introduksi merupakan pergerakan terhadap konflik melalui
dialog-dialog pelaku.
2. Intrik merupakan persentuhan konflik atau keadaan
mulai tegang.
3. Klimaks merupakan pergumulan konflik atau ketegangan
yang telah mencapai puncaknya dalam cerita.
4. Antiklimaks merupakan konflik mulai menurun atau masalah
dapat diselesaikan.
5. Konklusi merupakan akhir peristiwa atau penentuan
terhadap nasib pelaku utama.
c. Latar Cerita (Setting)
Lutters (2006: 56) menjelaskan bahwa setting
cerita adalah lokasi tempat cerita ini ingin ditempatkan atau diwadahi. Setting
dibagi menjadi dua, yaitu media/ tempat dan budaya.
d. Penokohan
Penokohan/ karakter pelaku utama adalah
pelukisan karakter/ kepribadian pelaku utama. Lutters ( 2006: 81) membagi
tokoh/ peran menurut sifatnya dalam tiga hal berikut.
1. Peran Protagonis
Peran protagonis adalah peran yang harus
mewakili hal-hal positif dalam kebutuhan cerita. Peran ini biasanya cenderung
menjadi tokoh yang disakiti, baik, dan menderita sehingga akan menimbulkan
simpati bagi penontonnya. Peran protagonis ini biasanya menjadi tokoh sentral,
yaitu tokoh yang menentukan gerak adegan.
2. Peran Antagonis
Peran antagonis adalah kebalikan dari peran
protagonis. Peran ini adalah peran yang harus mewakili hal-hal negatif dalam
kebutuhan cerita. Peran ini biasanya cenderung menjadi tokoh yang menyakiti
tokoh protagonis. Dia adalah tokoh yang jahat sehingga akan menimbulkan rasa
benci atau antipasti penonton.
3. Peran Tritagonis
Peran tritagonis adalah peran pendamping,
baik untuk peran protagonis maupun antagonis. Peran ini bisa menjadi pendukung
atau penentang tokoh sentral, tetapi juga bisa menjadi penengah atau perantara
tokoh sentral. Posisinya menjadi pembela tokoh yang didampinginya. Peran ini
termasuk peran pembantu utama.
Suban (2009:68) membagi karakter menjadi tiga
bagian menurut kedudukannya dalam cerita.
1. Karakter Utama (Main Character)
Karakter utama adalah karakter yang mengambil
perhatian terbanyak dari pemirsa dan menjadi pusat perhatian pemirsa.. Karakter
ini juga paling banyak aksinya dalam cerita. Karakter Pendukung (Secondary
Character)
Karakter pendukung adalah orang-orang yang
menciptakan situasi dan yang memancing konflik untuk karakter utama.
Kadang-kangan karakter pendukung bisa memainkan peranan yang membantu karakter utama.
Misalnya sebagai orang keparcayaan karakter utama. Contohnya, sebagai sopir
atau bodyguard.
2. Karakter Figuran (Incedental Character)
Karakter ini duperlukan untuk mengisi dan
melengkapi sebuah cerita. Mereka serin disebut figuran, karena yang dibutuhkan
figuran saja. Mereka sering tampil tanpa dialog. Kalaupun ada, dialognya hanya
bersifat informatif. Biasanya mereka digunakan dalam adegan-adegan kolosal dan
keramaian. Atau jika tidak kolosal, biasanya mereka memegang profesi di dalam
pelayanan umum, misalnya sopir taksi, pembantu, atau petugas di pom bensin.
e. Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis cerita kepada
penonton atau penikmat drama. Jika drama ditujukan kepada pelajar, maka seiring
dengan temanya, drama harus memberikan amanat yang bersifat edukatif. Selain
itu, cerita dalam drama harus dapat menambah pengetahuan yang positif bagi
siswa.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa aktor
yang baik ialah apabila:
a. berakting wajar, releks, fleksibel
b. menjiwai/menghayati perannya
c. aktingnya mempunyai motivasi
d. terampil dan kreatif
e. mengesankan atau dapat menyakinkan penonton
f. tidak merasa kalau sedang disorot publik/penonton/kamera
Catatan
Pengertian ‘wajar” dalam hal ini meliputi :
a. sikap/gerak atau perbuatan tidak canggung
tidak kau, tidak over akting tidak dibuat-buat
b. dialog mengena sesuai dengan tuntutan dari
naskah dan tidak dibuat-buat
c. vokal jelas atau ucapan artikulasi jelas
d. penggambaran watak atau karakter tepat
e. ekspresi wajar dan menyakinkan
f. dapat memanfaatkan segala properti dan
situasi pentas dengan baik.
Maka untuk menjadi aktor yang baik dipersiapkan :
a. latihan-latihan yang kontinyu, tertib dan disiplin
b. pengetahuan yang bersifat teoritis, meliputi :
- ilmu teater
- ilmu jiwa
- kepercayaan sesuatu agama yang diyakini
- apresiasi terhadap seni sastra,
suara/musik, tari, dan sebagainya
- kemampuan/ketrampilan berbahasa dengan baik
- sejarah budaya, sosiologi, antropologi,
ethionologi.
Dari hal di atas, maka sebaiknya seorang
aktor menyiapkan diri untuk bermain drama secara total dengan melakukan hal-hal
berikut.
a. Mempelajari kehidupan ;
langsung/pernyataan sendiri dan dengan membaca.
b. Memiliki “motor acting” (kemauan,
perasaaan, imajinasi).
c. Memiliki “visi seni/budaya”.
d. Memiliki “moral/etika” ; rendah hati,
tekun/rajin, disiplin mau belajar, toleransi, tanggung jawab dan sebagainya
(Putra:2008).
Tiap aktor/ aktris dalam membawakan perannya
harus mengetahui motivasi perbuatannya yaitu segala sesuatu yang menimbulkan
akibat dari perbuatan dan tujuan dari perbuatannya. Perlu diperhatikan
bagaimana cara-cara seorang aktor “menyatukan” diri dengan pribadi tokoh yang
hendak ia perankan. “Kondisi batin” yang diciptakan inilah yang kemudian akan
menghasilkan permainan yang kreatif, permainan yang tidak lahir dari
klise-klise tapi dari dorongan motivasi-motivasi yang hidup dan wajar. Dan
bagaimana seorang aktor dapat mengkomunikasikan “penghayatannya” ini pada
penonton melalui tubuh dan suaranya (Putra:2008).
Akting adalah segala kegiatan, gerak, atau
perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku. Akting meliputi mimik, pantomim,
dialog, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan adegan aktor atau pemain
drama.
a. Tujuan akting
Tujuan akting adalah “to be a character”,
yaitu mengekspresikan suatu perwatakan yang khas dari seorang tokoh.
b. Teknik akting
Teknik akting terbaik ialah yang paling
efektif dan yang berhasil mengekspresikan intent (maksud/ ide) penulis, intent
adegan, dan intent karakter. Untuk dapat berakting dengan baik, ada 10
teknik yang perlu diperhatikan.
- Metode tindak lahir
Aktor harus mengetahui lebih dulu motivnya berakting (dasar dan tujuan).
- Kemampuan mengandaikan
Bila seseorang menjadi tokoh tertentu, maka ia harus memikirkan apa dan
bagaimana yang harus ia lakukan ?
- Kemampuan imajinasi
Menggambarkan / membayangkan sesuatu yang tidak ada.
- Konsentrasi
Seorang aktor harus memusatkan perhatian dan pikirannya pada peran yang
ia bawakan.
- Emosional memori
Seorang aktor hendaknya mengingat-ingat atau mengenang kembali
pengalaman atau kejadian-kejadian yang pernah dialami sendiri yang kira-kira
serupa dengan adegan yang dimainkannya.
- Kesatuan
Antar aktor yang satu dengan yang lain harus ada kerjasama yang bersifat
kolektif.
- Harmoni
Setiap aktor harus berusaha menyesuaikan dirinya dengan peran/
perwatakan yang dibawakan (menghayati/ menjiwai setiap elemen yang berkaitan
dengannya).
- Tempo irama
Tiap akting harus ada iramanya. Artinya, akting tidak boleh tergesa-gesa
juga tidak boleh dilambat-lambatkan.
- Super obyektif
Tiap aktor harus tahu siapa yang sedang memegang peranan penting dalam
suatu adegan yang sedang berlangsung.
- Kebenaran dan keyakinan
Setiap aktor harus yakin akan peran yang dibawakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar